Pada 21 Maret 1999, Hari Puisi Sedunia ditetapkan oleh United Nations Educational Scientific Cultural Organization (UNESCO). Bagaimana sejarah Hari Puisi Sedunia, yang tanggal peringatannya sama dengan kelahiran penyair Suriah, Nizar Qabbani?
Dikutip dari situs resmi UNESCO, peringatan Hari Puisi Sedunia disepakati lewat resolusi Konferensi Umum ke-30 di Paris. Hari Puisi Dunia diperingati untuk mendukung keberagaman bahasa lewat ekspresi puitis.
UNESCO, lewat Hari Puisi Dunia juga mengakui keunikan puisi dalam menangkap semangat kreatif dan pemikiran manusia. Selain itu, Hari Puisi Sedunia juga diperingati untuk membantu para seniman dan penerbit menjaga citra puisi agar tak dianggap seni yang ketinggalan zaman.
Peringatan Hari Puisi Sedunia juga dimaksudkan untuk mendorong kembali pada tradisi lisan pembacaan puisi, mempromosikan pengajaran puisi, memulihkan dialog antara puisi dan seni lainnya seperti teater, tari, musik dan seni lukis,” tertulis.
Nizar Qabbani lahir tanggal 21 Maret 1923. Ia hidup di wilayah Mundzinah Syahm dan tumbuh di tengah keluarga tradisional Damaskus Kuno. Dalam catatan hariannya, Nizar Qabbani menyebut kemampuan berpuisinya sebagai warisan dari sang ayah, Taufiq Qabbani.
Ini turun-temurun, kata Nizar Qabbani. Dikutip dari situs Berdikari Book, sang ayah juga mewarisi bakat seni sastra dari sang kakek, Ahmad Abu Khalil Al-Qabbani, yang merupakan seniman dan penulis naskah drama masyhur pada masa itu.
Selain berpuisi, Nizar Qabbani muda juga mendalami kaligrafi dan seni lukis. Cukup intens, hingga puncaknya ia menerbitkan buku puisi Al-Rasm bi Al-Kalimat, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Melukis dengan Kata-Kata”.
Sebelum benar-benar hanyut sebagai penyair, Nizar Qabbani lebih dulu menggilai musik. Di masa-masa awalnya sebagai penyair, Niza Qabbani banyak menghapal puisi-puisi Umar bin Abi Rabi’ah, Jamil Batsinah, Tharafah bin Al-‘Abd dan Qais bin Al-Mulawwah.
Di tahun 1939, Nizar Qabbani ikut berlayar ke Roma. Itu jadi kali pertama Nizar Qabbani melahirkan bait-bait puisi. Keindahan ombak serta pertemuannya dengan ikan-ikan menjadi ilham. Para Nizariat –penggemar karya Nizar– meyakini 15 Agustus 1939 sebagai sejarah awal kelahiran puisi Nizar Qabbani.
Buku puisi Nizar Qabbani adalah Qalat LiAl-Samra (Perempuan Cokelat Berkata Padaku). Buku puisi itu ia terbitkan dengan dana pribadi di tengah kesibukannya menempuh perkuliahan jurusan hukum di Universitas Damaskus.
Lulus dari Universitas Damaskus, Nizar Qabbani masuk ke dinas luar negeri (diplomasi). Ia ditempatkan di Kairo, London, Ankara, Peking, juga Madrid. Di tahun 1966 Nizar Qabbani berhenti untuk kemudian mendirikan penerbitannya sendiri di Beirut.
Hidup Nizar Qabbani pada masa-masa berikutnya dipenuhi penderitaan dan kemalangan. Saudara perempuannya mati bunuh diri setelah menolak perjodohan. Tragedi itu disusul kematian putranya yang tengah kuliah kedokteran di Mesir.
Setelahnya, sang istri, Bilqis meninggal. Wanita asal Irak itu terbunuh di tengah perang sipil yang meletus tahun 1981 di Lebanon.
Puisi-puisi Nizar Qabbani banyak dikecam kala itu. Nizar Qabbani dianggap terlalu vulgar. Banyak yang khawatir puisi Nizar Qabbani jadi ancaman bagi nilai-nilai keislaman. Buku dan puisi Nizar Qabbani pun dilarang di banyak negara di Timur Tengah, terutama Arab Saudi.
Nizar Qabbani juga dikenal sebagai penulis puisi yang kritis. Ia punya perhatian besar pada politik di dunia Arab. Dalam banyak karyanya, Nizar Qabbani kerap menyerang para pemimpin Timur Tengah untuk kebijakan yang diskriminatif.
Usai kematian sang istri, Bilqis, Nizar Qabbani bergeser ke London. Ia menetap di sana hingga tutup usia pada 30 April 1998 karena serangan jantung. Total, sekitar 15 tahun Nizar Qabbani tinggal di London.
Saat dirawat di Rumah Sakit London, Nizar Qabbani sempat menulis waisat agar jasadnya dikubur di Damaskus. Nizar Qabbani mengatakan, “Rahim yang mengajari aku puisi, yang mengajari aku berkreasi, yang mengajari aku aksara bunga melati.”.
Berikut beberapa karya Nizar Qabbani yang paling dikenal: Qâlat Li Al-Samrâ’ (1944); Thufulat Nahd (1948); Samia (1949); Anti Li (1950); Qashâid (1956); Habibati (1961); Al-Rasm Bi Al-Kalimât (1966); Yaumiyât Imraah Lâ Mubâliyah (1968); Qashâid Mutawahhisyah (1970); dan Kitâb Al-Hubb (1970).