uklik.net – Inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan dalam penyampaian pembelaan (pledoi) yang digelar secara virtual di Ruang Sidang Utama/Cakra Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, meminta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pledoi, Syahganda menyampaikan, Reformasi politik 98 yang menghantarkan demokrasi di Indonesia itu mempunyai impian luhur bahwa, dengan jalan demokrasi kita akan mempercepat tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Sebuah jalan Indonesia berkeadilan. Ini bukan impian kosong, ini ilmiah. Karena memang ada korelasi yang sangat tegas dan kuat antara demokrasi, keadilan dan kesejahteraan.
Menurutnya, impian Reformasi Mahasiswa 98 itu bukan pula ingin menjadikan rakyat tinggal duduk berpangku tangan lalu Negara mencekoki mulut-mulut lapar mereka. Salah besar itu. Pelajaran kuno tentang demokrasi menyatakan, from the people, by the people and for the people.
“Empat hal penting yang dihasilkan dari Kesepakatan Reformasi 98 yaitu : 1) Partai politik yang komit terhadap konstituennya, 2) Media massa yang bebas, 3) “Civil Society” yang kuat dan 4) “Rule of Law” atau supermasi hukum yang berbasis pada human rights,” kata Syahganda menjelaskan.
Ia menuturkan, peluang kita saat ini adalah mendorong kekuatan Civil Society atau masyarakat madani. Apalagi saat ini era digital memberikan peluang untuk melakukan konsolidasi ide-ide dan gagasan. Jika “Big-tech” di Negara maju bersikap mendukung demokrasi, kemungkinan berbeda dengan Negara berkembang seperti Indonesia. Ini membutuhkan komitmen kita bersama, apakah kehadiran media sosial dapat mendorong demokrasi atau mematikan demokrasi?
“Uraian saya terkait “Big-tech” dan media sosial di atas berhubungan dengan tuduhan kejahatan terhadap saya di dunia media sosial Twitter. Jika Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana 1946 tidak mengenal Tweeter, maka memakai Undang-Undang (UU) ini pada kasus saya sebenarnya sangatlah memilukan,” kata Syahganda saat pembacaan nota pembelaan, Kamis (8/4/2021).
Syahganda menambahkan, bukan saja UU ini tidak layak digunakan secara substansial, karena mengadopsi hukum militer Belanda, di mana dirinya adalah seorang sipil. Namun Jaksa juga belum tahu menerapkan pasal-pasal tersebut sehingga bagaimana menarik benang merah konteks revolusi kemerdekaan pada tahun 1946-1948, yang masyarakatnya hidup tanpa media komunikasi yang cukup dengan sekarang jaman milenial penuh digitalisasi?
“Apalagi para JPU bertanya kepada para ahli yang hadir di persidangan “kapan sih UU Nomor 1 tahun 1946 ini digunakan?”, “Apakah pasal 14 ayat (1) itu delik formil atau materil”, tanya Jaksa lagi ke ahli. Tidak ada satupun JPU yang pengalaman,” imbuhnya.
“Tadinya saya berpikir Jaksa Penuntut Umum akan menuntut saya 6 bulan penjara, untuk membuat efek jera pada pengkritik Pemerintah seperti saya. Namun, tuntutan Jaksa selama enam tahun ini belum bisa saya temukan rasionalitasnya selama saya menjadi aktifis politik. Sekali lagi saya tidak ingin dijadikan kambing hitam oleh (sebagian) Pemerintah untuk bertanggung jawab atas demonstrasi besar-besaran penolakan RUU Ciptaker,” sambungnya.
Terakhir kata, Syahganda mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya atas berbagai kemungkinan. Ia percaya bulan suci Ramadhan diikat Allah semua para Iblis. Hal mana membuat hati kita suci dan bersih. Semoga Allah SWT memberikan kemuliaan hati bagi Bapak/Ibu Hakim ketika memutuskan perkara atas namanya sehingga dirinya akan menemukan keadilan yang seadil-adilnya.
“Mohon sudilah kiranya Bapak Ramon Wahyudi, Hakim Ketua, Bu Nur Ervianti Meliala, dan Pak Andi Imran Makkalau, Hakim Anggota, yang merupakan Wakil Allah di muka bumi. Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membebaskan saya dari semua tuntutan Jaksa dan memerintahkan kepada Negara untuk memulihkan nama baik saya,” tandasnya.
Terpisah, sidang nota pembelaan (pledoi) Syahganda Nainggolan dihadiri mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Saat dikonfirmasi mengenai kehadiran dirinya di persidangan Gatot menyampaikan, hanya menonton saja tidak ada persiapan apa pun.
Namun, ia tak menapik bahwa putusan yang nanti akan dijatuhkan Majelis Hakim terhadap Syahganda Nainggolan, diharapkan keadilan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Makna dari Peradilan adalah Negara keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga pertanggung jawaban putusan, tuntutan Jaksa maupun putusan Hakim itu bukan dipertanggung jawabkan kepada masyarakat tetapi kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tuturnya.
“Saya hanya mengingatkan itu saja. Dan saya yakin, saya lihat Bapak/Ibu Hakim orang-orang yang beriman, bertaqwa. Mudah-mudahan segala keputusan berdasarkan fakta pengadilan tidak dipengaruhi apapun juga karena Pak Hakim yakin keputusan itu akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itu saja,” pungkasnya. (jim)