Menegakkan keadilan merupakan unsur terpenting dalam syariat Islam. Dalam banyak ayat, Allah Ta’ala selalu mengingatkan umat ini agar selalu berpegang pada prinsip keadilan. Ketegasan perintah ini di antaranya Allah Ta’ala tunjukkan dengan menggandengkan prinsip keadilan bersamaan hakikat iman seorang muslim. Artinya, selama dalam dirinya ada keimanan maka keadilan harus senantiasa diperjuangkan. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 135)
Semua orang memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain lalu memaksakan hukum kehendaknya. Tidak ada status sosial yang membedakan. Pejabat, rakyat jelata, kaya, miskin, bahkan terhadap ibu bapak dan kaum kerabat sekalipun. Semuanya sama di mata hukum. Karena itu, seorang pemimpin harus benar-benar memerhatikan persoalan ini.
Dalam hal ini, Khalifah Ali bin Abi Thalib, selama masa kepemimpinannya beliau berhasil memberikan keteladanan yang baik demi tegaknya keadilan. Salah satunya ialah besarnya perhatian beliau terhadap hakim atau qadhi yang menjadi pemutus perkara di tengah masyarakat. Agar seorang hakim dapat mewujudkan keadilan dalam menjalankan hukum-hukumnya, maka Ali bin Abi Thalib mengharuskan bagi seorang hakim agar benar-benar menjaga hal-hal berikut:
Pertama: Mempelajari persoalan yang dihadapi dengan penelitian yang sangat hati-hati.
Tidak diperbolehkan bagi seorang qadhi tergesa-gesa dalam memutuskan sebuah hukum sebelum selesai dalam meneliti dan benar-benar yakin dengan kebenaran hukum. Karena itu, Ali radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Qadhi Syuraih, ”Lisanmu adalah budakmu selama kamu tidak berbicara. Dan jika kamu berbicara maka kamu menjadi budaknya lisan. Maka pikirkanlah apa yang akan kamu putuskan, akibat dari apa yang kamu putuskan, dan bagaimana cara kamu memutuskan.
Kedua: Persamaan antara pihak-pihak yang berselisih (tidak diskriminatif)
Pernah ada seorang tamu yang singgah di kediaman Ali radhiyallahu ‘anhusedangkan beliau dalam kesehariannya senantisa sibuk. Tamu ini datang untuk menyampaikan sebuah perselisihan yang akan dilaporkan kepada beliau, maka Ali bertanya kepadanya, ”Apakah kamu orang yang berselisih?” Dia menjawab, ”Ya.” Beliau berkata, ”Pergilah dariku, karena kita dilarang untuk menyambut seorang yang bertikai kecuali bersama pihak yang bertikai dengannya.” (Mushannaf Abdur- Razak, 8/300)
Ketiga: Tidak merendahkan atau meneriaki salah satu dari kedua belah pihak yang bertikai
Setalah beberapa saat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menobatkan Abu Aswad Ad-Du’ali sebagai seorang qadhi, kemudian beliau memecatnya, dan ia bertanya, ”Kenapa engkau memecatku, sedangkan aku tidak berkhianat dan tidak melakukan kesalahan?” Maka beliau menjawab, ”Aku hanya melihatmu meneriakkan ucapanmu kepada kedua belah pihak yang bertikai.” (Al-Mughniy, 9/104)
Keempat: Menjauhi hal-hal yang dapat mempengaruhi keputusan karena memiliki hubungan khusus dengan diri Qadhi.
Baik pengaruh ini berbentuk kerabat dekat, harta benda, orang yang dibenci atau lainnya. Ja’dah bin Habirah pernah mendatangi Ali bin Abi Thalib seraya berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, dua orang lelaki telah menemuimu, salah satunya sangat mencintaimu lebih dari dirinya sendiri, dan yang lain jika dia bisa menyembelih kamu dia akan menyembelihmu. Apakah kamu memutuskan orang ini dengan keputusan yang baik, dan keputusan jelek kepada yang ini?” Ja’dah berkata, “Ali mencela membencinya seraya berkata, ”Ini adalah suatu keputusan yang seandainya ini hakku, maka aku memilih orang yang mencintaiku. Akan tetapi, keputusan ini hanyalah milik Allah.” (Fikih Ali ibni Abi Thalib, Qal’aji, hal, 508)
Kelima: Musyawarah
Seorang qadhi wajib bermusyawarah kepada orang-orang yang berilmu dan mempunyai pendapat supaya tidak terlepas dari kebenaran. Ali radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu dari anggota majelis syura yang mana Khulafa’urrasyidin meminta musyawarah para anggota dewan syura ketika menghadapi sebuah permasalahan. Diriwayatkan oleh Al-Khishaf di dalam bab Adabil Qadhi, “Bahwa Utsman bin Affan ketika didatangi oleh dua orang yang bertikai maka beliau memerintahkan kepada seseorang, ”Panggil Ali” dan memrintahkan kepada orang lain, ”Panggil Thalhah, Zubair dan beberapa orang dari para shahabat Rasulullah.” Ketika mereka datang, Utsman berkata kepada kedua orang yang bertikai, ”Berbicaralah.” Ketika keduanya sudah berbicara, kemudian permasalahan ini dipaparkan kepada para shahabat, dan beliau bertanya, ”Lalu apa pendapat kalian?” Jika mereka berpendapat dengan sebuah keputusan yang sesuai dengan pendapat Ali radhiyallahu ‘anhu maka kemudian diputuskan hukum bagi kedua belah pihak yang bertikai, tanpa melihat pandangan para shahabat setelah adanya kesesuaian pendapat Ali dengan para shahabat yang lain. (Syarhu Adab Al-Qadhi, Al-Khishaf, 1/305, Masu’atu Fikhi Ali bin Abi Thalib, hal, 508)
Demikianlah keteladanan dari sahabat Ali bin Abi Thalib dalam mewujudkan lembaga keadilan yang adil bagi masyarakat. Semua pihak harus diperlakukan secara adil di hadapan hukum. Tidak ada satu pihak pun yang merasa dilebihkan. Semuanya sama di hadapan hukum. Bahkan bila khalifah sekalipun yang bersalah maka tetap diputuskan hukum sesuai dengan petunjuk al-Quran dan hadis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.
Sumber: Buku Biografi Ali Bin Abi Thalib Karya Ali Muhammad Ash-Shalabi, Penerbit Beirut Publishing, Jakarta Timur.