uklik.net – Di setiap kota yang sedang tumbuh, selalu ada dua kekuatan yang berjalan beriringan namun kerap berseberangan: kekuasaan dan kritik. Kekuasaan membutuhkan stabilitas untuk bekerja, sementara kritik hadir untuk memastikan stabilitas itu tidak berubah menjadi pembenaran diri.
Di Kota Depok hari ini, pertemuan dua kekuatan itu menemukan wajahnya pada sosok Cahyo Budiman aktivis senior yang oleh sebagian kalangan dianggap ancaman, namun oleh banyak warga justru dilihat sebagai penjaga kewarasan demokrasi lokal.
Cahyo bukan aktivis yang lahir dari momentum sesaat. Ia bukan produk viral media sosial atau figur musiman yang muncul menjelang tahun politik. Kiprahnya panjang, konsisten, dan sering kali tidak populer di hadapan kekuasaan. Justru di situlah letak relevansinya. Dalam demokrasi yang sehat, aktivis semacam ini memang tidak ditakdirkan untuk selalu disukai.
Label “pengganggu” kerap dilekatkan pada aktivis kritis. Kritik dianggap memperkeruh suasana, menghambat pembangunan, atau bahkan dicurigai memiliki agenda tersembunyi. Narasi semacam ini jamak digunakan ketika kekuasaan mulai kehilangan kesabaran terhadap suara yang tak bisa dikendalikan.Cahyo Budiman berada tepat di titik itu.
Kritik-kritiknya terhadap kebijakan Pemerintah Kota Depok sering dianggap terlalu keras, terlalu frontal, bahkan “mengancam stabilitas”. Namun pertanyaannya sederhana: sejak kapan kritik yang berbasis kepentingan publik berubah menjadi ancaman?
Dalam sejarah demokrasi, kritik justru menjadi penanda bahwa kekuasaan masih berada di jalur yang benar. Ketika kritik mulai dipersepsikan sebagai musuh, di situlah alarm demokrasi seharusnya berbunyi.
Depok hari ini rajin berbicara tentang pembangunan. Infrastruktur dikebut, proyek-proyek besar diumumkan, dan keberhasilan administratif dirayakan. Namun di balik itu, problem klasik warga masih bertahan: kemacetan yang tak kunjung terurai, ruang publik yang terbatas, persoalan sosial yang berulang, hingga isu dugaan korupsi yang tak pernah benar-benar tuntas.
Cahyo mengkritik paradoks ini. Baginya, pembangunan tidak boleh berhenti pada angka dan seremoni. Ia harus menjawab kebutuhan nyata warga. Ketika pembangunan terasa lebih sibuk melayani citra politik ketimbang kepentingan publik, maka kritik bukan hanya sah, tetapi wajib disuarakan.
Di titik inilah, kritik Cahyo sering terasa “menyakitkan” bagi penguasa. Bukan karena ia keliru, melainkan karena ia menyentuh wilayah yang selama ini ditutup rapat oleh narasi keberhasilan.
Aksi demonstrasi Gerakan Depok Bersatu (GEDOR) di Jalan Siliwangi menjadi simbol kuat dari akumulasi kekecewaan warga. Ketika ruang dialog formal terasa tumpul, jalanan berubah menjadi mimbar terakhir demokrasi.
Peristiwa papan segel pemerintah yang justru dibungkus kain menjadi potret telanjang rapuhnya penegakan aturan. Simbol hukum ada, tetapi kehilangan wibawa. Dalam konteks ini, kritik Cahyo tidak berdiri sendiri. Ia mewakili kegelisahan yang dirasakan banyak warga, namun jarang mendapat ruang dalam forum resmi.
Bagi kekuasaan, situasi seperti ini sering dibaca sebagai ancaman. Padahal sesungguhnya, ia adalah peringatan dini. Jalanan tidak akan ramai jika ruang dengar pemerintah masih berfungsi dengan baik.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab secara jujur adalah: apa yang sebenarnya terancam oleh kritik? Apakah stabilitas kota, atau kenyamanan segelintir elite?
Cahyo Budiman tidak pernah mempersoalkan legitimasi pemerintah yang sah. Ia tidak mengajak warga membenci institusi. Yang ia lakukan adalah mengingatkan bahwa kekuasaan memiliki batas, dan batas itu bernama akuntabilitas.
Namun bagi kekuasaan yang terlalu nyaman, batas sering terasa seperti serangan. Kritik dianggap pembangkangan. Pengawasan dipersepsikan sebagai perlawanan. Di sinilah demokrasi mulai kehilangan keseimbangannya.
Yang membuat Cahyo berbeda dari banyak aktivis instan adalah sikapnya terhadap polarisasi politik. Ia tidak berdiri sebagai oposisi praktis. Ia tidak menjual kemarahan publik demi keuntungan politik jangka pendek.
Sebaliknya, ia konsisten mengajak warga berpikir kritis mendukung kebijakan yang benar, dan mengoreksi yang keliru, siapa pun pemimpinnya. Sikap ini membuatnya sulit dikendalikan dan tidak mudah dipolitisasi. Dalam lanskap politik lokal, figur seperti ini sering dianggap berbahaya karena tidak bisa dijinakkan.
Aktivis senior seperti Cahyo Budiman sejatinya bukan ancaman bagi pembangunan. Mereka adalah alat uji kejujuran kekuasaan. Apakah pemerintah cukup dewasa untuk menerima kritik? Apakah ia berani bercermin dan mengakui kekurangan? Atau justru memilih menutup telinga dan melabeli kritik sebagai gangguan?
Sejarah menunjukkan, kekuasaan tidak runtuh karena kritik. Ia runtuh karena menolak mendengar. Kota-kota yang besar bukanlah kota yang bebas kritik, melainkan kota yang mampu mengelola kritik menjadi energi perbaikan.
Pada akhirnya, posisi Cahyo Budiman di Depok menempatkan satu pilihan jelas bagi kekuasaan: melihat kritik sebagai ancaman, atau sebagai kesempatan untuk bertumbuh. Pilihan ini bukan soal suka atau tidak suka pada seorang aktivis, melainkan soal arah demokrasi lokal ke depan.
Jika kritik terus dipersempit, maka jalanan akan semakin ramai.
Jika suara aktivis terus dicurigai, maka jarak antara pemerintah dan warga akan kian lebar. Namun jika kritik diterima sebagai bagian dari proses demokrasi, maka Depok punya peluang menjadi kota yang bukan hanya maju secara fisik, tetapi juga matang secara politik.
Karena sejatinya, aktivis yang paling berbahaya bukanlah mereka yang lantang mengkritik, melainkan kekuasaan yang takut dikritik.
uklik.net
Kabar Militer
News Uklik
News Daerah
Vidio Uklik





