menitpost.com – BAGI insan pers, ukuran sejati dari kemerdekaan Indonesia adalah sejauh mana kemerdekaan pers bisa tegak setegak-tegaknya. Kita sering mengira kemerdekaan pers adalah barang gampang, toh setiap hari kita bisa baca berita dari ratusan portal daring, menonton liputan televisi, atau sekadar menikmati ocehan akun-akun media di medsos. Namun, realitas di balik layar tidak sesederhana itu.
Justru hari ini, meraih kemerdekaan pers semakin pelik. Kalau diartikan sebatas bebas meliput, bebas memberitakan, dan bebas dari tekanan politik, mungkin memang pers kini relatif lebih terbuka ketimbang era otoritarian dulu. Tetapi sejak pandemi Covid-19 mempercepat peralihan konsumsi informasi ke platform digital, pers berhadapan dengan “penjajah” baru: ekosistem bisnis media yang kian rapuh.
Krisis Ekonomi Media
Data Nielsen (2023) menunjukkan belanja iklan di televisi, cetak, dan radio terus turun, sementara iklan digital tumbuh pesat, tetapi ironisnya, lebih dari 70 persen diambil alih oleh raksasa platform global seperti Google dan Meta. Akibatnya, media lokal hanya kebagian remah-remah. Catatan penulis, setidaknya 500 jurnalis kehilangan pekerjaan sepanjang pandemi karena efisiensi redaksi. Lalu disambung badai PHK yang menyebabkan banyak jurnalis terbaik di media mainstream kehilangan pekerjaan.
Di titik ini, kemerdekaan pers tidak lagi sekadar soal bebas dari tekanan politik, tetapi juga bagaimana media mampu melepaskan diri dari jeratan ketergantungan finansial. Banyak media kini terpaksa “menggadaikan” independensi demi bertahan hidup: dari content placement berbayar, pesanan politik, hingga menjajakan ruang pemberitaan kepada pemodal. Alih-alih melayani publik, pers kerap terjebak melayani pihak yang paling mampu membayar.
Tak heran muncul istilah getir: “pers anak kambing”—media yang harus menyusu ke sana-sini sekadar untuk hidup. Gambaran ini tentu menyakitkan, tapi juga jujur. Di tengah situasi itu, lahirlah Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI). Organisasi ini semoga tidak hanya menambah daftar panjang asosiasi pers yang ada, melainkan bisa menjawab tantangan zaman: menyatukan media lintas platform—cetak, elektronik, daring, hingga multimedia—dalam sebuah ekosistem kolaboratif.
Sebagai yang pertama dan satu-satunya wadah media konvergensi, AMKI memikul misi yang tidak ringan: mengubah pola bertahan hidup media yang selama ini “meminta-minta” menjadi pola kolaborasi yang produktif. Konvergensi bukan sekadar jargon teknologi, melainkan strategi untuk menegakkan kembali kemandirian pers.
Sinergi Tanpa Intervensi
Kabar baiknya, sejumlah institusi strategis, dari kementerian dan lembaga tinggi negara, hingga mitra militer dan swasta, telah menyatakan dukungan. Bukan untuk menundukkan media, tetapi untuk merangkul dan mempercayai pers sebagai pilar demokrasi. Kolaborasi ini, kalau dikelola dengan benar, bisa menjadi energi baru bagi media tanpa mengorbankan independensi.
Di sisi lain, AMKI tetap harus menjaga rambu-rambu. Kemerdekaan pers tetap berpijak pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Sinergi tidak boleh berubah menjadi kooptasi. Media hanya akan dihormati publik bila ia tetap berpihak pada kebenaran dan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pemodal atau institusi.
AMKI sendiri bukan sekadar “forum kumpul-kumpul”. Ia lahir untuk menggelar program konkret: Forum Konvergensi Media, pelatihan digitalisasi, advokasi regulasi, hingga kemitraan strategis yang menguntungkan semua pihak. Di dalam struktur AMKI, hadir pula tokoh-tokoh besar dari berbagai latar belakang—pejabat sipil, perwira militer, akademisi, dan praktisi media.
Jika di masa lalu pers sempat rela “dijajah” demi bertahan, maka dengan AMKI kita ingin melangkah ke babak baru: menjadikan kolaborasi sebagai kunci, kemandirian sebagai fondasi, dan kepentingan publik sebagai arah.
Akhir kata, kemerdekaan pers hari ini memang tidak sesederhana menolak intervensi politik. Ia menuntut kecerdikan menghadapi kapitalisme platform, menuntut solidaritas di antara media, dan menuntut keberanian untuk berkata: lebih baik miskin tapi merdeka, ketimbang kaya tapi diperbudak. Dengan AMKI, kita ingin pers Indonesia kembali menegakkan kepalanya, setegak-tegaknya.
Oleh: Tundra Meliala
Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat