uklik.net – Survey Setara Institute yang menggelontorkan hasil bahwa kota Depok merupakan kota inteloleran membuat berang banyak orang termasuk wakil walikota Depok. Pasalnya kenyataan di lapangan jauh dari tudingan intoleran. Perlu dipertanyakan indikasinya, misalnya saja demografi agama alias heterogenitas keagamaan penduduk.
Depok mayoritas Islam , seandainya di satu wilayah penduduknya non muslim hanya minoritas apa itu bisa dikatakan intoleran ? Dan tentunya ini akan berdampak pula pada regulasi sosial, akan wajar saja bila ada aturan yang terkait dengan agama mayoritas tersebut.
Tapi yang harus dilihat adalah sikap pemerintah dan warga nya apakah ada sikap atau aturan yang menyudutkan atau menyakiti agama minoritas. Dan rasanya di Depok tidak ada permasalahan intoleran antar agama atau pun ras. Jadi wajar jika penilaian sebagai kota intoleran ditolak mentah mentah.
Imam Budi Hartono, wakil walikota Depok memprotes hasil riset Setara Institute tersebut. ia menyebutkan penilaian yang dilakukan lembaga tersebut meresahkan masyarakat Depok.
” Apalagi kalau hasil itu dipergunakan untuk mengadu domba,” sesalnya. Ia pun menambahkan lembaga survei apapun berhak melakukan penilaian terhadap Kota Depok, tapi harus berdasarkan data yang valid. ” Jangan sampai indikatornya bukan data yang dibuat pemerintah melainkan data yang disusun sepihak, sepertinya bukan menggunakan data primer tapi sekunder,” keluhnya.
Menurutnya sejak dirinya jadi wakil Walikota belum pernah mendengar ada persoalan terkait intoleran.Kalau misalnya ada persoalan pun kami di Depok punya FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama ) yang bisa menyelesaikannya.
Senada dengan Imam , Bachtiar Simanjuntak salah satu tokoh agama Kristiani juga menampik predikat itu .
” Berpuluh tahun saya di Depok tidak ada perlakuan buruk pemerintah terhadap gereja atau umat beragama Kristen. Kami mendirikan gereja HKBP di Cilodong pun walikota datang. Meski Kristen minoritas di sini, tapi pemerintah tetap menghargai, datang ketika kami mengundang.
Saya rasa pemerintahan Idris-imam maupun sebelumnya cukup baik. Tak ada diskriminasi, kami bebas beribadah dan juga saling menghargai agama lain, tempat ibadah lain dan umat beragama lain,” ujarnya Bachtiar Simanjumtak yang juga sebagai penasehat Pemuda Batak Bersatu.
Ia pun mempertanyakan kriteria apa yang menjadikan intoleran. Bahkan bagi warga miskin yang minta dibantu pengobatan dengan pembeayaan dari bansos APBD pun tak pernah ditanya apa agama mu, tapi langsung dibantu sesuai kebutuhan. Begitu pula saat pandemi Covid, semua ditangani dengan perlakuan sama, tidak di bedakan menurut agama atau ras. Di Depok pun banyak lapo berdiri juga petshop yang menjual makanan dan menjual anjing piaraan , tak pernah ada masalah . Kami warga Depok hidup penuh toleransi, ” kilah Bachtiar yang juga telah aktif puluhan tahun sebagai sintuo dan pengurus persatuan gereja Kristen.
Hal yang sama dilontarkan H. Dody Kurniawan, tokoh masyarakat Cimanggis yang juga Ketua LPM Kurahan Curug, Menurutnya, di Cimanggis , bisa di bilang banyak warga keturunan China yang sudah tinggal menahun dan berbaur . ” Meski minoritas mereka Budha atau Kong Hu Chu , kami tidak pernah permasalah kan, selalu damai dalam kegiatan sehari hari agamamu agamamu agamaku agamaku, tidak saling mengusik, bebas beribadah, ” ujarnya.
Ia pun menambahkan di berbagai wilayah di Depok ini seperti Palsir Gunung Selatan itu dalam satu wilayah ada gereja, pura dan masjid, letaknya berdekatan semua beribadah dalam damai,” tuturnya.
Ia pun menduga salah satu indikator penilaian tersebut mungkin adanya Perda Relegi. ” Dengan asumsi pemimpin pemerintahan yang berasal dari Partai berbasis agama Islam maka perda tersebut akan pro Islam. Tapi nyatanya kan tidak, itu mengatur semua agama. Mengatur orang untuk beribadah dengan damai. Salah satunya menghargai dan memberikan insentif guru agama dari semua agama, bukan hanya Islam,” paparnya. Hal yang sama juga dinyatakan Bachtiar Simanjuntak.
Ia menyesalkan adanya pihak pihak yang berupaya memecah belah kerukunan dengan survei survei semacam ini. ” Survei dengan indikator yang tidak jelas dan hasil berbeda dari kenyataan ini meresahkan masyarakat. Saya rasa ada udang dibalik batu dalam pembuatannya, bisa jadi politis untuk menyudutkan pemerintah yang sekarang, bisa saja kan. Mungkin saja hasil survei sesuai pesanan pihak tertentu, ” pungkasnya. (dian)