uklik.net DEPOK – Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menghangat. Sejumlah pakar dan praktisi hukum menyoroti urgensi sekaligus tantangan regulasi ini dalam sebuah Diskusi Publik bertajuk “Quo Vadis RUU Perampasan Aset” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), baru-baru ini.
Acara yang diinisiasi oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) bersama Bidang Studi Hukum Pidana FHUI, Djokosoetono Research Center (DRC), ILUNI FHUI, dan Pascasarjana FHUI ini menjadi forum penting untuk membahas masa depan upaya penegakan hukum dalam pemberantasan kejahatan ekonomi dan korupsi. Acara dalam satu sesi dimoderatori oleh Kaylanitha Syailendra.


Kampus Ambil Peran Moral
Wakil Dekan I FH UI, Dr. Endah Hartati, S.H., M.H., menekankan tanggung jawab moral dan intelektual FH UI sebagai lembaga pendidikan hukum tertua di Indonesia.
“Kejahatan ekonomi dan korupsi telah menimbulkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat. Upaya pengembalian aset hasil kejahatan adalah bagian penting dari strategi pemberantasan korupsi dan pemulihan integritas sistem hukum,” tegas Endah, menyoroti latar belakang diskusi.
Eks Ketua PPATK: Jangan Tarik ke Ranah Perdata!
Pendekatan hukum menjadi perdebatan utama. Dr. Muhammad Yusuf, S.H., M.M., Ketua PPATK periode 2011–2016, secara lugas menyoroti desain pengaturan illicit enrichment (penambahan kekayaan tidak wajar) dan arah pembuktian.
“Ini persoalan pidana. Jika konsepnya ditarik ke ranah perdata, jaksa akan kesulitan membuktikan,” kritik Yusuf.
Ia mendorong agar RUU ini konsisten menggunakan pendekatan pidana dengan sistem pembuktian terbalik. Menurutnya, rezim pengembalian aset (asset recovery) ini tidak hanya relevan untuk korupsi, tetapi juga kejahatan lain yang merugikan negara. “Negara memiliki hak untuk membela diri terhadap penambahan kekayaan yang tidak wajar. Pengaturan yang kuat sejalan dengan praktik dan konvensi internasional,” imbuhnya.
Dampak Ekonomi dan Kepastian Hukum
Senada dengan Yusuf, Dr. Muhammad Novian, S.H., M.H., Direktur Hukum dan Regulasi PPATK, melihat RUU ini berdampak positif pada tata kelola ekonomi.
“Iklim investasi akan semakin kondusif jika Indonesia berhasil mengesahkan RUU Perampasan Aset. Ini menunjukkan konsistensi Indonesia sebagai negara dengan sistem investasi yang bersih,” jelas Novian.
Namun, ia mengingatkan pentingnya perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik, terutama dalam kasus aset yang tercampur antara harta sah dan hasil kejahatan. “Mekanisme verifikasi dan keberatan pihak ketiga harus jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambahnya.


ICJR Sorot Hukum Acara yang “Bolong”
Dari aspek teknis implementasi, Deputi Direktur ICJR, Maidina Rahmawati, S.H., LL.M., menyoroti fondasi hukum acara yang harus diperkuat.
“Aturan hukum acaranya harus akuntabel terlebih dahulu. Misalnya, pada kondisi pelaku melarikan diri, definisi dan prosedurnya masih belum jelas. Ini berpotensi menimbulkan masalah dalam penegakan perampasan aset ke depan,” papar Maidina.
Ia juga menekankan pentingnya safeguards hukum acara pidana, kejelasan status perkara di tahap penyidikan, serta kewenangan Jaksa Agung dalam pengalihan atau pengelolaan aset.
Ganjar Laksmana: Tiga Kata Kunci RUU
Perbedaan mendasar antara aturan lama dan baru dijelaskan oleh Ganjar Laksmana Bonaprapta, S.H., M.H., yang merupakan Tim Perumus RUU sekaligus Dosen Hukum Pidana FH UI.
Ia membedah perampasan aset sebagai pidana tambahan (sudah ada di KUHP) dengan konsep baru perampasan tanpa putusan atas tindak pidana tertentu (non-conviction based forfeiture).
“RUU ini justru menempatkan perampasan sebagai instrumen yang tidak selalu bergantung pada pembuktian tindak pidana spesifik,” jelasnya.
Ganjar merangkum tiga kata kunci utama dalam rancangan RUU: kekayaan yang tidak sesuai dengan profil, asal-usul kekayaan yang tidak jelas, dan pembuktian terbalik.

Pemulihan Aset vs Perampasan Biasa
Sebagai penutup, Sultan Rambe, S.H., mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UI, mengkritisi orientasi RUU. Ia menekankan perlunya fokus pada pemulihan aset (asset recovery) yang menyeluruh, yang mencakup penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, hingga pengembalian aset, bukan sekadar perampasan biasa.
Sultan juga mengkritisi adanya ambang batas minimal Rp100 juta dalam draf RUU. “Ambang batas itu bisa menghambat pemulihan aset bernilai kecil. Sebaiknya dihapus agar semua aset hasil kejahatan dapat dipulihkan,” tutupnya. (AS/red)
uklik.net
Kabar Militer
News Uklik
News Daerah
Vidio Uklik



