uklik.net – Jakarta, Hampir 2 bulan terakhir perekonomian rakyat khususnya kecil, mulai goyah. Meskipun hal tersebut dimulai semenjak tahun 2020 karena dampak Pandemi Covid 19, Namun jika kita melihat data perekenomian menunjukkan bahwa baik di dunia internasional maupun di Indonesia sudah masuk dalam fase peningkatan/perbaikan.
” Bulan lalu kita disibukkan dengan kelangkaan minyak goreng dan naikknya harga minyak goreng tersebut diramal turut menyumbang inflasi sebesar 0,68%. Beberapa public figure meminta masyarakat untuk mengganti masakan dengan cara direbus, padahal yang rakyat butuhkan adalah stabilitas harga dan ketersediaan bukan bagaimana cara memasak tanpa minyak,” Kata Herlitah Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta di Jakarta Minggu (10/4/2022 ).
Disebutkan Herlitah Pada Tanggal 1 April lalu diterapkan ppn menjadi 11%. Belum datang tanggal 1 April, surat pemberitahuan dari para produsen tentang kenaikan harga sudah bermunculan melalui distributor kepada toko-toko kelontong untuk mengantisipasi kenaikan PPN yang tentu saja akan menjadi beban masyarakat.
” Jika ada yang mengatakan hanya 1% tidak akan memberatkan masyarakat, namun bagi masyarakat ekonomi lemah hal ini sangat memberatkan karena adanya efek domino terhadap harga barang lainnya. Belum lagi muncul kebijakan untuk PPN 11% jika Top Up E-Wallet dan akan diberlakukan pada tanggal 1 Mei mendatang,” Ujarnya.
Herlitah melihat Wacana akan naiknya harga gas Elpiji 3kg dan harga Pertalite analisa para pakar ekonomi akan menyumbangkan inflasi terbesar tahun ini menjadi keserahan terbesar dimasyarakat. Beberapa pengamat mengatakan setuju dengan kenaikan tersebut karena dapat mengurangi beban APBN indonesia dan hal ini harus diambil sebagai Langkah geoekonomi Indonesia dalam menghadapi dampak langsung dan tidak langsung terhadap perang Ukraina dan Rusia. Namun apakah Langkah ini sudah tepat dilakukan saat ini?
” Untuk memberikan angin sepoi-sepoi kepada masyarakat kecil, Pemerintah memberikan wacana melalui Menko bidang Perekonomian Airlangga Hartanto bahwa adanya program baru yaitu subsidi upah sebesar 1 juta untuk gaji dibawah 3,5 juta dan 600 ribu untuk pelaku usaha Mikro sebagai bantuan sosial. Hal tersebut merupakan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo usai sidang Kabinet Paripurna tentang antisipasi dan Perkembangan Ekonomi Dunia minggu lalu di Istana Negara,” tuturnya
Melihat fenomena ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini, Herlitah menyebutnya sebagai money illusion. Money Illusion adalah kecenderungan orang melihat uang dari nilai nominalnya, bukan secara riil. Dengan kata lain mengabaikan tingkat inflasi.
” Kita mengambil contoh fenomena yang terjadi saat ini, gaji seorang karyawan adalah 3,5 juta dan mendapat subsidi 1 juta dari Pemerintah, total pendapatannya bulan ini menjadi 4,5 juta. Dengan penghasilan 3,5 juta seorang karyawan bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Adanya kenaikan pendapatan menjadi 4,5 juta seharusnya bisa menabung 1 juta. Namun dengan adanya kenaikan inflasi akibat adanya kenaikan harga minyak, ppn, gas elpiji 3 kg, BBM, dan adanya multiflier effect terhadap harga barang substitusi maupun harga barang komplementer lainnya membuat uang 4,5 juta tersebut tidak tersisa, atau bahkan bisa kurang jika inflasi terus meningkat menjelang lebaran ini, Jadi tambahan 1 juta tersebut hanya ilusi,” Unggkapnya
Lebih lanjut ia mengambil sebuah kata dari dunia psikologi yang saat ini sedang tren yaitu kata “Healing” yang artinya “penyembuhan atau pengobatan”, yang berkaitan erat dengan Kesehatan mental manusia.Ia meminjam kata healing untuk mengaitkannya dengan uang. “Money Healing”, saat ini uang butuh “Healing”, semakin tidak berarti uang saat ini untuk mendapatkan barang karena dilakukan di bulan Ramadhan.
Setiap tahun menjelang Ramadhan harga kebutuhan pokok akan naik meskipun tidak ada pengumuman kenaikan harga dari Pemerintah. Saat ini diperparah karena dipicu adanya wacana-wacana kenaikan harga dan kelangkaan setiap tahun menjelang Ramadhan harga kebutuhan pokok akan naik meskipun tidak ada pengumuman kenaikan harga dari Pemerintah. Saat ini diperparah karena dipicu adanya wacana-wacana kenaikan harga dan kelangkaan barang.
” Hal lainnya adalah harus dilakukannya kontrol pasar secara terus menerus, jangan sampai kejadian minyak goreng terulang atau bahkan berpindah terhadap barang kebutuhan pokok lainnya,” Jelas Herlitah yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Mahasiswa S3 Kajian Stratejik Global, Universitas Negeri Jakarta.
Ditambahkan Herlitah yang terakhir adalah Pemerintah harus melakukan kajian dan Analisa secara mendalam dan holistic mengenai dampak dari kenaikan harga saat ini terhadap ekonomi Indonesia khususnya rakyat kecil. Masyarakat mulai bergairah menyambut Endemic Covid-19.
”Jangan sampai kebijakan-kebijakan Pemerintah membuat masyarakat kembali merasakan pesakitan dalam ekonomi,” Imbuhnya . (JoWa)