Uklik.net – Jakarta – Pintu masuk radikalisme sering kali bukan dari senjata, tetapi dari ruang yang paling sunyi: pikiran yang kehilangan arah dan keluarga yang kehilangan kendali. Itulah yang disadari Arif Fathoni, eks napiter sekaligus mantan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setelah bertahun-tahun terjerumus dalam ideologi kebencian.
Kini, setelah menjalani proses panjang deradikalisasi dan reintegrasi sosial, Arif menjadikan pendidikan dan keluarganya sebagai benteng utama agar arus ekstremisme tidak kembali menerobos kehidupan generasi muda.
“Harus pendidikan,” kata Arif dalam sebuah forum. Tanpa pendidikan yang memadai, menurutnya pertahanan seseorang akan mudah dijebol, teurtama di era arus banjir informasi. “Kenapa jebol? Karena sungai yang deras, tanggulnya tidak kuat menahan arus yang deras tadi. Jebol,”. Ia berbicara bukan sebagai mantan pelaku, tetapi sebagai seseorang yang telah melihat betapa lemahnya pagar nalar dan kasih ketika pendidikan dan keluarga abai.
Dia mengaku, ideologi radikal dulu masuk dalam kehidupannya ketika ia masih mahasiswa baru. Saat itu, ajakan pengajian yang tampak biasa ternyata menjadi jalan menuju gerakan transnasional yang menolak sistem negara. Ia mengingat betul bagaimana narasi kebencian tumbuh pelan-pelan dengan menyerang kepercayaan pada pemerintah, lembaga agama, dan bahkan keluarga sendiri.
“Keluarga bisa hilang karena pilihan radikal. Maka peluk keluarga, libatkan keluarga,” katanya.
Kini Arif menyadari, tidak ada benteng yang lebih kuat dari komunikasi yang hangat antara anak dan orang tua. Ia menyesal pernah menutup diri dari keluarga yang sesungguhnya ingin melindungi.
“Saya ingin menyampaikan pesan kepada teman-teman: sayangi keluarga, libatkan keluarga dalam setiap keputusan, jangan memutus komunikasi dengan orang tua. Dulu saya meremehkan orang tua, itu salah besar. Orang tua tidak ingin menyesatkan anaknya,” ujarnya.
Kesadaran itu muncul setelah ia menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan dan mengikuti berbagai program deradikalisasi. Melalui pendekatan humanis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Antiteror, Arif dipertemukan dengan tokoh-tokoh agama moderat dan para akademisi. Pendekatan berbasis keluarga dan pendidikan inilah yang kini menjadi salah satu strategi utama BNPT dalam menutup celah rekrutmen kelompok ekstrem.
Kini, Arif aktif berdakwah di berbagai forum pendidikan dan komunitas muda. Ia senantiasa mengingatkan bahwa radikalisme bukan hanya ancaman keamanan, tapi juga ancaman moral dan kemanusiaan. Ia percaya, benteng paling kuat melawan ekstremisme bukan di barak atau kantor polisi, melainkan di rumah dan ruang kelas.
“Peganglah rujukan pada ulama yang kredibel. Muhammadiyah, NU, dan ulama yang diakui ilmunya,” pesan Arif. Ia juga menyebutkan bahwa ajaran Islam sejati tidak mengajarkan permusuhan, tetapi mengedepankan rahmat dan kedamaian. “Jangan tertipu ajakan yang mengobarkan kebencian.”