uklik.net – SOLO – Sesaji Mahesa Lawung atau Wilujengan Negari, kembali digelar oleh Karaton Kasunanan Surakarta, pada Kamis(26/12).
Acara sesaji dipimpin langsung oleh Sinuhun Pakubuwono XIII dan GPH Dipokusumo. Berbagai ” ubo rampe ” sesaji, seperti kepala kerbau yang dibungkus kain mori dikeluarkan dari keraton , sekitar pukul 09.30 wib dan dibawa menuju Bangsal Sitihinggil, untuk dilakukan doa bersama.
Saat di Sitihinggil ini, PB XIII Hangabehi tidak ikut dan hanya menunggu dimobil yang parkir didepan Pagelaran.
Acara doa bersama, sekitar setengah jam, dipimpin oleh GPH Dipokusumo. Setelah itu, iring-iringan prajurit Keraton dan abdi dalem pembawa ubo rampe, bergerak ke depan Pagelaran untuk berangkat ke Alas Krendha Wahana yang ada di Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar.
Gusti Pangeran Haryo ( GPH) Dipokusumo, yang bertindak sebagai Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta, menuturkan bahwa, ” Sejarah Sesaji Mahesa Lawung, sudah ada sejak era sebelum Kerajaan Majapahit. Namun, sejak Kerajaan Islam Demak, karena kondisi negara aman, sesaji itu ditiadakan. Dan atas inisiatif Sunan Kalijaga, sesaji yang mengadopsi dari Hindu dan Budha digelar lagi. Namun oleh para wali dan imam, sesaji itu dinamakan Sesaji Mahesa Lawung atau Wilujengan Nagari. Tradisi sesaji itu, diteruskan dijaman Pajang, Mataram, Pleret, Kartosuro hingga saat ini oleh Keraton Kasunanan Surakarta, ” tutur GPH Dipokusumo, kepada reporter uklik.net, di Sitihinggil Keraton, sebelum berangkat ke Alas Krendha Wahana, Gondangrejo Karanganyar, Kamis(26/12).
Sesaji Mahesa Lawung sendiri , Kegiatan ini digelar rutin setiap tahun pada akhir bulan rabiul akhir, di hari Kamis.
Persembahan sesaji yang telah dilakukan sejak ribuan tahun yang silam ini merupakan satu keharusan bagi umat manusia untuk menghormati dan menghargai seluruh mahkluk ciptaan Tuhan, agar selalu selaras dan terjaga keharmonisasi-nya.
Upacara sesaji mahesa lawung sudah di lakukan sejak jaman Prabu Sitawaka dari Gilingaya, namun sampai sekarang masih terus berlanjut demi keseimbangan alam semesta.
Upacara tradisi ini di gelar pertama kali setelah kerajaan Gilingaya di terpa pagebluk yang menyebabkan kerajaan resah.
Oleh Brahmana Radhi yang menjadi utusan Prabu Sitawaka di tunjuk untuk mencari jalan keluar mengatasi pagebluk.
Maka di tahun 387 yang di tandai dengan Candra Sengkala Pujaning Brahmana Guna. Brahmana Radhi menggelar sesaji Mahesa Lawung.
Seluruh pagebluk yang menimpa kerajaan dan penduduk Gilingaya akhirnya sirna. Tradisi ini akhirnya berlanjut sampai pada masa Majapahit , Demak hingga Mataram Islam di tanah Jawa.
Oleh karena itu rangkaian doa yang dipanjatkan pada saat upacara,dilakukan menggunakan dengan tiga doa dari tiga keyakinan yaitu, Islam dan Jawa. (Saf)