uklik.net – Tepat pukul 10 pagi, Taryan, 52 tahun, menginjakkan kakinya di Pool Bus Budiman, Tasikmalaya. Setelah menempuh perjalanan 100 Km lebih dari kota Bandung asalnya, Taryan masih harus melanjutkan perjalanan menuju Desa Cibanteng, Kecamatan Parungponteng untuk merespon kasus adanya pemasungan di daerah tersebut.
Sejak tahun 2014, Taryan disibukkan dengan kegiatan sebagai Ketua Yayasan Belajar Bersama yang bergerak di bidang sosial dalam penangangan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) baik yang mengalami pemasungan maupun yang ditelantarkan.
“Saya mengurus pasien ODGJ dari yang tidak memiliki jaminan kesehatan, lobi dengan pihak rumah sakit maupun edukasi dengan pihak desa dan keluarga” Ujar Taryan saat ditemui di Desa Cibanteng
Penanganan ODGJ menurut Taryan, memerlukan tindakan yang sangat serius dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Mulai dari visitasi dan pembinaan keluarga pasien, lingkungan sekitar, maupun pasca keluar dari rumah sakit jiwa ataupun Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Mental (BRSPDM) milik Kementerian Sosial RI (Kemensos).
Pelayanan Taryan di bidang sosial penanganan ODGJ bermula saat dirinya dan istri menonton berita di televisi terkait adanya puluhan warga di sebuh desa yang mengalami gangguan jiwa. Saat itu hatinya tergerak dan langsung melakukan visitasi ke desa tersebut. Saat itulah pelayanan sosial Taryan dimulai.
RESPON CEPAT SAAT ADA LAPORAN KASUS PEMASUNGAN
Taryan mengatakan dirinya selalu merespon dan bergerak cepat setiap ada laporan kasus ODGJ yang dia terima, Hal ini merupakan prinsip dasar yang diterapkan pada yayasan sosial miliknya.
“Atas dasar kemanusiaan, mau tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada biaya maupun prosedur ke rumah sakitnya rumit, yang penting pasien bisa dievakuasi dulu. Tidak tega melihat manusia sampai dipasung begitu” imbuhnya.
Tak jarang Taryan harus menjual barang pribadi miliknya untuk menambah dana guna evakuasi pasien.
Respon cepat terhadap kasus pemasungan terhadap ODGJ tentunya memiliki permasalahannya sendiri. Salah satu faktor yang paling sering ditemui di lapangan adalah adanya halangan dari pihak keluarga yang memang tidak mau terpisah dari anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa bilamana harus dipindahkan ke lokasi perawatan.
Oleh karena itu peran dari berbagai sektor sangat penting dalam memberikan edukasi kepada pihak keluarga terkait proses perawatan ODGJ.
Ujang Sukmana, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) di Parungponteng mengatakan proses evakuasi pasien ODGJ acapkali tidak mendapat restu dari pihak keluarga dikarenakan lokasi perawatan yang dirasa jauh oleh pihak keluarga
“Seperti yang kita hadapi sekarang ini, proses evakuasi terhadap pasien gangguan jiwa di Desa Cibanteng yang dipasung tidak diperbolehkan oleh pihak keluarga. Padahal sudah jelas ada Undang- Undang yang mengatakan tidak lagi boleh ada pemasungan” pungkasnya
Mengacu pada UU No 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 86, pihak-pihak yang melakukan pemasungan maupun penelantaran terhadap ODGJ, dapat dikenakan hukum pidana. Oleh karena itu perlu pendekatan edukasi yang humanis kepada keluarga pasien sehingga dapat dilakukan perawatan yang layak kepada pasien.
BERKOORDINASI DENGAN KEMENTERIAN SOSIAL RI
Tujuh tahun perjalanannya di bidang sosial, Taryan Kerap melakukan koordinasi dengan Kemensos terkait proses evakuasi dan perawatan ODGJ. BRSPDM Phala Martha, salah satu Balai Rehabilitasi milik Kemensos yang berada di Sukabumi, Jawa Barat seringkali menjadi tempat rujukan bagi pasien yang ditangani oleh Yayasan Belajar Bersama.
Kemensos sendiri berdasarkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas memilik peran dan fungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar, pengasuhan/perawatan sosial, terapi dan dukungan keluarga bagi penyandang disabilitas mental.
Sebelum meninggalkan Desa Cibanteng untuk respon kasus selanjutnya, Taryan menyampaikan mimpinya untuk suatu saat nanti memiliki Panti Sosial miliknya sendiri yang dapat menangani berbagai permasalahan sosial, terutama memberikan perawatan bagi orang-orang dengan gangguan jiwa. (jim)