ukliknet – Kasus intoleransi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini terjadi dikarenakan adanya praktik keberagamaan yang eksklusif pada kelompok tertentu. Kelompok ini memandang dirinya yang paling benar, sementara orang lain selalu salah. Bila dibiarkan dapat mengancam keanekaragaman sosial yang ada.
Demikian disampaikan oleh Puteri Wakil Presiden RI, Siti Nur Azizah dalam sebuah Diskusi Zoom Meeting bersama ratusan guru pendidikan agama tingkat SMA se Tangerang Raya, Sabtu (24/4).
Dengan paparan berjudul: Jalan Inklusi Melawan Kekerasan Atas Nama Agama, perempuan yang menjadi Penasehat NU Circle ini menyampaikan bahwa pemahaman nilai-nilai toleransi wajib dikedepankan kepada para generasi muda terutama yang berada di bangku sekolah melalui sebuah pengajaran oleh para guru yang berkualitas.
Pendidikan agama yang inklusif memberikan fondasi bagi anak didik untuk berpandangan optimis dalam melihat perbedaan demi menggapai masa depan yang lebih luas.
Pengajaran agama tidak boleh pesimis, anti kritik, dan anti sains, tapi harus progresif dalam mendorong kompetensi yang tinggi sebagai pengejawantahan penemuan jati diri dalam berketuhanan bagi siswa.
“Pembelajaran agama juga harus turut serta mengawal moralitas siswa, jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, adil, dengan semangat jauh dari kekerasan dan teror yang meresahkan bangsa,” ujar Siti Nur Azizah.
Mantan Kasubdit Bina Paham Keagamaan Dan Penanganan Konflik Kementrian Agama ini berpesan agar para pendidik dapat menyampaikan materi pendidikan agama yang mencerminkan sikap toleran, insklusif dan humanis. Pandangan ini mengajarkan bahwa keanekaragaman sosial yang terjadi merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri.
“Kita tidak boleh takut dengan perbedaan. Justru perbedaan adalah rahmat. Dengan adanya perbedaan kita bisa saling mengenal dan bekerjasama, bukan malah saling membenci dan memusuhi”, ungkap Puteri K.H.Ma’ruf Amin ini.
“Sejauh ini, guru masih dianggap sebagai elemen terpenting dalam membangun transformasi pengajaran agama yang inklusif di Indonesia, sehingga kualitas guru harus terus ditingkatkan,” pesan Azizah.
Pemerintah, menurut Azizah perlu membuat kebijakan yang terintegrasi dalam mewujudkan orientasi baru dalam pendidikan agama yang inklusif ini. Kebijakan itu diantaranya berupa upgrading guru agama agar para guru semakin inklusif. Upgrading ini wajib dilakukan bagi guru di lembaga formal, informal, dan non formal.
“Bagaimanapun lembaga-lembaga luar sekolah seperti majelis taklim, TPA,TPQ dan sebagainya turut serta mempengaruhi cara pandang siswa, sehingga perlu didorong berpandangan inklusif. Tanpa itu pembelajaran agama di sekolah tidak akan efektif membentuk generasi baru yang inklusif,” demikian pungkasnya.(alf)