uklik.net – Depok – Sekretaris Komisi D DPRD Kota Depok, Siswanto, menyoroti perihal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap dua orang eks karyawan Perusahaan swalayan Tiptop di Kota Depok.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak tersebut diduga buntut dari adanya indikasi kasus penggelapan dana perusahaan dan manipulasi laporan anggaran keuangan dari program Corporate Social Responsibility (CSR) Tiptop.
Hal tersebut diungkapkan Siswanto, usai menggelar rapat dengar pendapat Komisi D DPRD Kota Depok bersama pihak manajemen Tiptop dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Depok, di Kantor DPRD Kota Depok, Kamis (16/10/2025).
Menanggapi hal tersebut, Siswanto menjelaskan bahwa sengketa PHK dua karyawan dengan pihak manajemen Tiptop ini sudah muncul sejak 2024. Namun sambungnya, hingga kini belum menemukan titik temu meskipun telah diupayakan mediasi tripartit antara karyawan, manajemen Tiptop dengan Dinas Tenaga Kerja.
“Kedua karyawan yang ter PHK, telah bekerja puluhan tahun di perusahaan tapi status dua orang ini tetap dirumahkan oleh Tiptop. Kami ingin tahu kronologis utuh, sehingga muncul kesimpulan bahwa Tiptop memang sudah bersikukuh menyelesaikan hubungan kerja dengan dua karyawan itu,” ujar Siswanto kepada wartawan, Kamis (16/10/2025).
Menurut Siswanto, pihak manajemen Tiptop menyebut bahwa kedua karyawan tersebut diduga melakukan kesalahan berupa penggelapan dana yang dialokasikan untuk program CSR atau kegiatan karyawan. Pihak karyawan menolak menerima istilah uang pisa atau pesangon yang diajukan manajemen sebagai bentuk penyelesaian:
“Mereka bersedia mengembalikan keuangan yang dianggap digelapkan, tetapi tidak menerima uang Pisa (Pesangon),” kata Siswanto.
Komisi D berpendapat bahwa meskipun hanya dua orang, PHK tersebut dapat berdampak terhadap jumlah angka pengangguran di Kota Depok. Sehingga diharapkan ada kebijakan yang bijak dari manajemen Tiptop dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Lebih lanjut dalam forum itu, Komisi D juga mengusulkan agar pihak Tiptop membayar uang pesangon untuk masing-masing karyawan senilai Rp 50–60 juta, dengan disesuaikan masa kerja mereka.
“Disnaker Depok hadir dalam pertemuan itu, peran Disnaker adalah sebagai mediator dalam perselisihan hubungan kerja. Disnaker sempat memfasilitasi mediasi pada Maret 2025, namun hasilnya tetap sama, Tiptop tetap pada keputusan PHK,” jelas Siswanto.
Siswanto menegaskan bahwa jika keputusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan secara sepihak, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jika mediasi gagal, maka jalur berikutnya adalah Pengadilan Hubungan Industrial.
Lebih jauh, Siswanto menyinggung bahwa kasus dugaan penggelapan dana CSR di Tiptop ini bukan informasi hal baru. Menurutnya, pada 2017 pernah muncul dugaan penggelapan atau manipulasi laporan keuangan sebesar Rp2,2 hingga Rp2,5 miliar terkait pengadaan barang susu yang digunakan dalam program perusahaan.
“Diketahui bahwa laporan itu sudah sempat dilaporkan ke pihak kepolisian oleh pihak Tiptop, namun kini belum ada kejelasan atau tindakan lebih lanjut,” ungkapnya.
“Perusahaan ini pernah laporan ke polisi, tetapi tidak punya kekuatan untuk men-pressure pihak kepolisian mengusut itu. Indikasi pelakunya sama dari 2017 sampai 2024, jangan-jangan memang bukan dua orang ini,” kata Siswanto
Diketahui kasus dugaan manipulasi dana program CSR yang disebutkan adalah digunakan untuk kegiatan mini soccer serta kegiatan internal karyawan yang diduga fiktif. Siswanto menyebut bahwa laporan pertanggungjawaban biaya sewa lapangan dalam acara tersebut dicantumkan padahal keberadaan lapangan sudah tutup enam bulan sebelumnya.
“Saat pertemuan tadi, manajemen Tiptop menyatakan dua karyawan yang di-PHK ini diduga merupakan bagian dari serikat buruh internal dan terlibat perencanaan penggelapan bersama. Tapi manajemen tetap keras memutuskan tidak akan merekrut kembali kedua karyawan itu,” tandasnya
Mengakhiri pernyataannya, kata Siswanto, Komisi D DPRD Kota Depok menyimpulkan bahwa keputusan pihak Tiptop untuk menutup pintu kembali bagi kedua orang karyawan tersebut sudah “final”.
“Jika manajemen tetap ngotot, Komisi D mendorong agar hak-hak karyawan dipenuhi. Termasuk jika perkara itu dilanjutkan ke jalur hukum melalui pengadilan hubungan industrial,” pungkasnya. (Hisan)