“Bisa dibayangkan berapa cost yang harus disediakan untuk itu. Belum lagi untuk menggerakkan mesin partai. Namun semua itu tidak harus sepenuhnya dilakukan bila pendukungnya partai militant, mereka mau bersaksi tanpa uang, semua demi doktrin partai,” jelasnya.
uklik.net – Menjadi Calon Walikota Depok tidak mungkin hanya mengandalkan popularitas dan elektabilitas calon belaka, dalam pencalonan harus memiliki cost politik yang mencukupi “ Jangan pernah mimpi jadi walikota hanya andalkan popularitas, elektabilitas namun tidak memiliki kertas ( uang ) yang cukup, apalagi kalau mencalonkannya bukan dari partai militan. Modal jadi walikota itu 2 D, Doa dan Duit, “ ujar Rudi HM. Samin SE, SH, bacalon Walikota Depok dari Partai Gerindra.
Rudi pun menggambarkan, yang dimaksud duit di sini bukan berati money politics, melainkan cost politik. “ Untuk menjalankan mesin partai dari tingkat bawah hingga DPP perlu cost politic, nggak mungkin mereka mau bergerak kalau tidak ada uang, jadi tanpa ‘kertas’ jangan mimpi jadi walikota, kecuali ia didukung partai militant yang pendukungnya mau bergerak tanpa uang bahkan mengeluarkan dana dari koceknya demi tujuan partai,” tambahnya.
Sebagai contoh, ia pun mencontohkan, setiap TPS minimal ada tiga saksi, kalau saja TPSnya berjumlah 3000, maka cost politik yang dihitung 3000 TPS dikalikan 9 orang ( saksi, istri dan anak).
“ Bisa dibayangkan berapa cost yang harus disediakan untuk itu. Belum lagi untuk menggerakkan mesin partai. Namun semua itu tidak harus sepenuhnya dilakukan bila pendukungnya partai militant, mereka mau bersaksi tanpa uang, semua demi doktrin partai,” jelasnya.
Rudi pun menjelaskan soal kesiapan calon. Menurut Rudi, seorang calonpun harus siap disandingkan dengan siapapun.
” Jangan pernah menampik bila disandingkan dengan siapapun sebagai pasangan. Ini merupakan penilaian tersendiri, dari mana dia berangkat, kalau dari awal sebagai calon walikota hanya memikirkan mencari keuntungan, tentunya ia akan mencari pendamping yang menguntungkan. Tapi kalau sejak awal niatnya ingin membuat perubahan untuk Kota Depok, maka dengan siapapun ia dipasangkan dia harus siap.
Sebagai mantan guru dan kepala sekolah di berbagai sekolah seperti SMA Negeri 58, SMA Vini Vidi Vici dan SMA Bunda Kandung, kepeduliannya terhadap nasib guru sangatlah besar. Itu tercetus dari pendapatnya mengenai Kota Depok sebagai Kota Layak Anak.
“Depok belum pantas disebut kota layak anak. Lihat saja nasib guru honorernya. Betapa banyak yang bertengkar bahkan bercerai dengan pasangannya karena pendapatannya tak mencukupi untuk hidup. Nereka dibayar per jam dan itu sangat kecil. Bagaimana kita ingin anak berpendidikan baik jika nasib gurunya saja tidak diperhatikan dengan baik. Jika saya jadi walikota untuk guru honorer yang memiliki SK yayasan akan mendapatkan tunjangan Rp 1 juta untuk S1 dan Rp 500 rb untuk D3. Ini bisa dilakukan karena kita kan otonomi daerah,” tandasnya.
Dan satu hal lagi, “Walikota berikutnya harus mampu bekerjasama dengan wakil walikotanya dan bukan bersaing , ujarnya menutup pembicaraan.(yitnos)