uklik.net – Dua tokoh masyarakat di Kota Solo menggelar acara renungan pada Kamis 22 Oktober 2020. Mereka berdua adalah Haji Muhammad Sungkar dan Usman Amiruddin. Dengan segala kesulitannya , mereka berhasil menggelar acara bertitel ” Renungan Malam 55 Tahun Yang lalu , Tragedi Berdarah di Solo 22 Oktober 1965, Pembantaian Pemuda Solo oleh PKI “.
Kesulitan menggelar acara itu dialami oleh keduanya saat meminta ijin memakai Gedung Bakorwil Gladag , yang dulu dikenal sebagai Kantor Pembantu Gubernur Eks Karesidenan Surakarta. Setelah tarik ulur , mencari ijin sana sini , termasuk menghadap Kasat Intelkam Polresta Solo , mereka dijinkan menggelar acara dengan segala pembatasan mengingat kondisi Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Malam Jumat Pahing 22 Oktober 2020 sebuah kegiatan renungan akhirnya digelar secara sederhana. Usman Amiruddin lebih banyak berbicara tentang sejarah tragedi tersebut. Sementara Haji Muhammad Sungkar mengungkit cerita kelam pada malam 22 Oktober 1965 itu saat dirinya kehilangan sepupunya bernama Salim Ahmad Sungkar yang ikut tewas dibunuh. ” Saya melihat sendiri jasad Iim , saat berada di kamar mati Rumah Sakit Pusat Mangkubumen,” ujar HM Sungkar.
Cerita dari Usman Amiruddin dan HM Sungkar seputar Tragedi 22 Oktober 1965 , sama sama menyedihkan. Usman mengaku menjadi salah satu orang yang selamat dari pembantaian , karena berhasil sembunyi di Percetakan Popular yang ada di Barat Gladag , yang saat ini menjadi Gedung BCA.
Dalam catatan Usman Amiruddin , dalam dua hari , antara 22 dan 23 Oktober 1965 ada 23 orang tewas akibat dibantai dan tertembak oleh orang orang Pro Komunis. Orang orang Pro Komunis yang dimaksud berasal dari kesatuan militer Kompi 444 serta para aktifis Pemuda Rakyat , sebuah organisasi pemuda yang menjadi onderbouw PKI.
Dalam penjelasannya , Usman Amiruddin menyebut bahwa kondisi politik di Kota Solo sangat menegangkan pasca terjadinya Gestapu ( G30S/PKI) dengan diumumkannya Dewan Revolusi oleh Letkol Untung di RRI Jakarta. Di Solo , para pimpinan Sipil seperti Walikota Oetomo Ramelan dan pimpinan militer mendukung Dewan Revolusi.
Ketika Gestapu (G30S/PKI) berhasil digagalkan oleh RPKAD di Jakarta , sebuah operasi untuk melumpuhkan Getapu di daerah mulai dilancarkan.
Terkait dengan hal itu , baiklah untuk melengkapi tulisan ini , saya mengutip beberapa penjelasan dari Salim Said , seorang wartawan senior , yang ikut serta melakukan peliputan di Jawa Tengah saat RPKAD pimpinan Sarwo Edi menggelar operasi di beberapa daerah di Jawa Tengah.
Dalam Buku Berjudul , ” Salim Said , Dari Gestapu ke Reformasi – Serangkaian Kesaksian ” mantan Wartawan Tempo dan Duta Besar di Ceko itu menulis , SEKITAR SEBULAN SETELAH MELETUSNYA GESTAPU , sebagai reporter muda , mendapat tugas ke Jawa Tengah. Pada penugasan pertama diluar kota tersebut , Saya ( Salim-red) harus meliput operasi RPKAD membersihkan Gestapu dalam tubuh Kodam Diponegoro. Beratnya tugas Sarwo Edhie itu sebagai komandan operasi akan mudah disadari kalau kita tahu bahwa dari tujuh batalion Diponegoro yang waktu itu berada di Jawa Tengah , Lima sudah dikuasai para perwira beraliran kiri.
Juga dua dari tiga Komando Resort Militer ( Korem ) telah mereka pengaruhi. Komandan Korem Yogyakarta , Kolonel Katamso dan wakilnya, Letnan Kolonel Sugiono , malah diculik, dan dengan sadis dibantai sebelum akhirnya dimasukkan di lubang yang dangkal.
Dibekali dengan surat pribadi Jenderal Soegandhi kepada Kolonel Sarwo, Saya ( Salim- red) berangkat ke Solo dengan kereta api. ROMBONGAN SARWO EDHIE memasuki Surakarta dari Semarang pada 22 Oktober 1965. Ketika konvoi tiba di Kartasura, pinggiran Surakarta , datang perintah dari Panglima Kodam Diponegoro di Semarang, RPKAD sebagaian menuju Boyolali. Laporan dari Kota Kabupaten itu menyebut adanya pembantaian dibanyak desa yang dilakukan orang orang PKI dan BTI terhadap lawan lawan politiknya , yakni kaum Marhaenis dan pemuka pemuka Islam.
Kedatangan pasukan RPKAD ke Kota Solo pada 22 Oktober 1965 tampaknya disambut sukacita oleh orang orang anti komunis dari berbagai kelompok. Mereka melakukan penyambutan dengan demonstrasi di kawasan Gladag dengan membentangkan poster dukungan untuk RPKAD. Namun ternyata , sore itu menjadi hari naas bagi para aktifis anti komunis , mereka menjadi sasaran penembakan serta pembantaian oleh orang orang komunis baik militer maupun sipil.
Usman Amiruddin sendiri menceritakan bahwa , sebelum adanya Gestapu Kota Solo itu sangat romantis dan akrab dijuluki sebagai kota yang tak pernah tidur.
Pada tanggal 30 September Solo diguncang dengan berita pembunuhan jenderal. Kemudian disusul pengumuman Dewan Revolusi. Waktu itu satu satunya informasi dari RRI , motivasi dari Dewan Revolusi itu belum diketahui. Karena tidak diketahui situasinya seperti apa , maka umat Islam di Solo mengambil sikap untuk ” Berdiri dibelakang Bung Karno “.
Pada waktu itu PKI berhadapan dengan umat beragama dan nasionalis. Tapi karena PKI sangat dominan maka intimidasi sangat kuat. Brimob Solo , menawarkan agar umat Islam untuk bersembunyi di Tawangmangu bila diserang PKI, ” Karena waktu itu Brimob Solo punya markas di Tawangmangu,” kata Usman Amiruddin.
Usman bersama teman teman dari Muhammadiyah , waktu itu dirinya menyambut RPKAD di Nonongan , dan karena senja sudah menjelang maghrib , ada dua tentara yang meminta para pemuda itu membubarkan diri di Balaikota. Padahal perintah Muhammadiyah , kalau sudah selesai harus pulang ke Balai Muhammadiyah. Tapi kami percaya pada dua tentara itu , rombongan kami digiring ke Balaikota , namun sampai di Gladag rombongan kami diberondong oleh para tentara komunis , langsung waktu itu 4 orang anggota rombongan tewas ditempat.
Menjelang isya , saya pulang ke Kusumoyudan , sampai dirumah , ibu saya omong bahwa kamu tadi diikuti ponakanmu Salim , sampai esok harinya Salim itu tidak bernyawa. Sadis sekali , waktu itu Salim kelas 1 SMA 1 . Para demonstran penyambutan RPKAD itu dicegati oleh Pemuda Rakyat. Banyak yang dibawa ke Kampung Sewu , di Kedung Kopi , ditempuran Bengawan Solo dan dibantai dilokasi tersebut. Yang dibunuh di Kedung Kopi itu ada 19 orang.
Cerita Tragedi 22 Oktober 1965 bagi HM Sungkar tentu sangat sulit dilupakannya. Saat itu meski dirinya tidak ikut aksi demonstrasi penyambutan RPKAD karena masih berada di Jogya , pada Jumat malam dirinya pulang ke Solo dan mendapati tragedi mematikan tersebut.
Saat mengambil jenazah adiknya Salim , HM Sungkar mengaku ingin memperlihatkan jasad itu kepada sosok pembunuh berdarah dingin bernama Karno Gejig. Saat jasad akan dibawa masuk ke Balaikota , RPKAD menyarankan agar tidak usah saja. Karno Gejik memang sosok yang sangat dicari pasca tragedi tersebut. Namun RPKAD akhirnya menangkapnya dan diinterogasi di Balaikota , dan sempat menjadi tontonan warga.
Diakhir ceritanya , sambil sedikit terisak menahan tangis , HM Sungkar berharap agar tragedi kelam bangsa pada `1965 tak terulang lagi. (*)