uklik.net – Bagaimana memahami konteks pernyataan Presiden Jokowi yang menegaskan tidak akan bersikap netral dalam Pilpres 2024.? “Saya harus cawe-cawe, demi kepentingan negara,” kata Jokowi. Penegasan itu disampaikan di depan para pemimpin media massa dan influencer media sosial di Istana Merdeka., 29 Mei.
Pernyataan Presiden Jokowi agak kontradiktif dan cenderung sekadar basa-basi politik. Karena tanpa menyatakan secara resmi pun, publik sudah bisa melihat dengan gamblang ke-cawe-cawean dan ketidak-netralannya dalam berpolitik.
Tiga bulan terakhir, Jokowi kerap menggunakan “bahasa kiasan” (sanepo), bernuansa kuis teka-teki, soal preferensi dukungannya pada capres 2004. Istilah capres “berambut putih”, “kening berkerut”, hingga “sosok tegas dan berani”. Publik sudah mahfum, tebakan yang terlalu mudah, figur yang dimaksud Jokowi adalah Ganjar Pranowo atau Prabowo.
Tidak terlalu soal sebenarnya, bersikap tidak netral dan ingin cawe-cawe dalam Pilpres, melihat elastisitas politik praktis di Indonesia pasca era reformasi. Parpol yang cenderung non-ideologis, pragmatis, oportunis, begitu lentur serta cair dalam berkomplot dan berkoalisi untuk memenangkan kursi atau akses kekuasaan.
Pernyataan Jokowi soal cawe-cawe justru menunjukkan ambiguitas-nya, terombang-ambing, dalam paradigma politik etis dan politik praktis. Antara politik di atas panggung (formal) dan di bawah panggung (informal). Politik mendukung capres yang seideologi, satu parpol, itu wajar, memang begitu norma politiknya. Jokowi mendukung Ganjar Pranowo adalah normal, kalau bukan wajib, sebagai sesama PDIP.
Di Amerika presiden yang akan berakhir jabatannya mengampanyekan capres yang akan diusung partai. Di Partai Demokrat, Bill Clinton mendukung Obama; kemudian Obama berkampanye untuk Joe Biden, dan seterusnya. Begitu pula yang terjadi di Partai Republik.
Pernyataan Jokowi menjadi ambigu, ketika alih-alih menyebat nama yang tegas (Ganjar Pranowo), justru memakai bahasa “sanepo”, kiasan yang kabur. Bahwa dukungan ke Capres untuk “kelanjutan pembangunan” atau “kepemimpinan yang stabil.”
Selain ambigu, juga kontradiktif. Usai pertemuan presiden dengan media massa itu, Kepala Bidang Protokoler, Pers dan Media Sekretariat Presiden, Bey Mahmuddin, mengeluarkan pernyataan tertulis untuk “mengklarifikasi ” ucapan presiden.
Bey Mahmuddin menjelaskan bahwa “cawe-cawe” presiden adalah untuk memastikan Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil. Pernyataan politis presiden Jokowi “dianulir” sekedar menjadi lontaran teknis-administratif penyelenggaraan Pemilu.
“Presiden mengharapkan seluruh peserta pemilu dapat berkompetisi secara free dan fair, Presiden akan menjaga netralitas TNI Polri dan ASN.” Begitu pernyataan tertulis staf presiden, untuk seluruh peserta acara yang hadir. Artinya? Aparat negara harus netral pada Pemilu, cuma presiden yang boleh cawe-cawe tidak netral. Pernyataan presiden Jokowi menjadi tidak sinkron dengan tafsir pegawainya.
Tapi situasi “a-synchronicity” itu bisa dipahami, karena bukan kali ini saja terjadi. Presiden Jokowi sedang berupaya “stealling the limelight” , memancing perhatian terkait proses politik elektoral. Bahwa sebagai presiden inkumben, masih “in-charge”. Selain ingin memastikan, agenda dan capaian politik-(legacy)-nya akan berlanjut.
Jokowi masih berupaya “otak-atik-gatuk” pasangan capres yang akan ia dukung sepenuhnya. Gosip politik yang beredar, ia menginginkan pasangan Ganjar-Prabowo. Namun proses memasangkan capres-cawapres di Indonesia terlalu kompleks untuk bisa ditentukan oleh Jokowi seorang diri.
Sebagai presiden yang tidak memiliki partai, Jokowi harus berunding dengan sejumlah pimpinan parpol lain untuk membangun koalisi pencalonan. “Posisi tawar” Jokowi tidak terlalu kuat, karena era kekuasaannya akan segera berakhir. Dan di Indonesia, dukungan parpol untuk pen-capresan cuma ada dua variabel: elektabilitas dan isi tas.
Secara real politik, peluang cawe-cawe dan ketidak-netralan Jokowi dalam urusan penentuan capres tinggal satu variabel: memobilisasi “isi tas”. Jika itu bisa dilakukan, maka memikirkan keberlanjutan kepemimpinan dan capaian pembangunan, mungkin bisa terlaksana. **